Sejak dahulu hingga sekarang, pembahasan tentang asal kata tashawwuf belum pernah mencapai kata sepakat. Para ahli berbeda pendapat tentang kata itu, dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah bahwa perbedaan itu disebabakan karena adanya kata yang dinisbahkan kepada kata sesuatu. Ada yang dinisbahkan kepada kata safa dan safw yang artinya bersih dan suci. Maksudnya, kehidupan seorang seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Suci, sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci. Adapun tentang definisi Tashawwuf itu sendiri ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Ada beberapa sumber tentang pengertian Tasawuf menurut etimologi, diantaranya berkata bahwa tasawuf berasal dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda Masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berzikir dan berdo’a.
Sedangkan menurut Terminologi, Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme adalah untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun zhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagiaan yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi kesenangan duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (berbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syi’ah, Sunni dan organisasi Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. pemikiran sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekaran
Zakaria Al-Anshori : “Tashawwuf ialah suatu ilmu yang menjelaskan hal ihwal pembersih jiwa dan penyantun akhlak baik lahir atau batin, guna menjauhi bid’ah dan tidak meringankan ibadah.
Abul Qasim al-Qashairi ( W. 456H/1072M ) : “Tashawwuf adalah menerapkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara tepat berusaha menekan hawa nafsu, menjauhi bid’ah dan tidak meringankan ibadah.
Bisyr bin Haris al-Hafi ( W. 227H/841M ) : “Seorang sufi ialah yang telah bersih hatinya, semata-mata untuk Allah SWT”.
ABU Husain An-Nuri ( W. 295H/908M ) : “Kaum sufi itu ialah kaum yang hatinya suci dari kotoran basariyah ( hawa nafsu kemanusiaan ) dan kesalahan pribadi. Ia harus mampu membebaskkan diri dari syahwat sehingga ia berada pada shaf pertama dan mencapai derajat yang mulia dalam kebenaran”.
Harun Nasution dalam bukunya falsafat dan Mistisme dalam islam menjelaskan bahwa : “tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam bisa sedekat mungkin dengan Tuhan”.
Dari berbagai definisi yang berbeda-beda tersebut kiranya dapat ditarik suatu kesimpilan tentang pengertian Tashawwuf itu sebagai berikut : “Tashawwuf ialah suatu ilmu pengetahuan yang membahas dan mempelajari tentang jalan atau cara yang ditempuh dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalan atau cara yang dimaksud dengan melalui pembersihan rohani, peningkatan amal saleh, berakhlak mulia dan tekun melakukan ibadah menurut contoh Rasulullah SAW disertai dengan melakukan zuhud, berkhalwat dan kontemplasi.
Sejarah Perkembangan Tasawuf
Sebenarnya kehidupan shufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW. Dimana dalam kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan-Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.
Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh shahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus turun temurun sampai sekarang. Bahkan para shahabat beliau banyak yang melakukan kehidupan shufi dengan hidup sederhana dan selalu bertaqarrub dengan Allah. Kehidupan mereka sangat sederhana bahkan serba kekurangan, tetapi dalam dirinya tumbuh memancar sinar kesemangatan beribadah. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para shahabat beliau, semisal Abu Hurairah, Abu Darda’, Salman Al Farisy, Abu Bakar, Umar Bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar dan sebagainya. Dapat dicontohkan disini, seperti kehidupan Abu Hurairah ra. Yang dalam sejarah disebutkan bahwa beliau tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan Masjidil Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak pernah merasa kenyang, bahkan sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau duduk-duduk di pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar ra. Lewat disitu ia bertanya ayat apa yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menekan laparnya. Abu bakar tidak menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar Bin Khathab. Abu Hurairah meminta pula padanya, ditunjukkan Ayat Al-Qur’an yang dapat menahan laparnya.. Umar tidak berbuat apa-apa dan meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah disitu pula Rasulullah saw, Nabi tersenyum melihat Abu Hurairah, Nabi tersenyum karena mengetahui apa yang terkandung dalam dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi mengajak Abu Hurairah mengikuti. Tatkala sampai di rumah, Nabi mengeluarkan sebuah bejana susu dan disuruh minum pada Abu Hurairah, sehingga tidak dapat menghabiskannya.
Satu contoh lagi adalah yang terjadi pada shahabat Nabi yang bernama Abu Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Darda’, yang telah dipersaudarakan Nabi dengan dia. Maka didapatinya bermurung, tak gembira seperti biasanya. Tatkala ditanya, istrinya menceritakan, bahwa Abu Darda’ sejak ingin meninggalkan segala kesenangan dunia ini, ia ingin meninggalkan makan dan minum, karena dianggapnya dapat mengganggu dan taqwanya kepada Allah. Mendengar cerita itu, Salman Al-Farisi murka, lalu sambil menyajikan makanan ke Abu Darda’ berkata dengan geramnya : “Aku perintahkan kepadamu supaya kamu makan. Sekarang juga!”. Abu Darda’ lalu makan. Tatkala waktu tidur Salman memberi perintah lagi : “Aku perintahkan kepadamu supaya engkau pergi beristirahat dengan istrimu!”. Dan tatkala sampai waktu sembahyang ia membangunkan saudaranya itu sambil berkata : “Hai, Abu Darda’, bangunlah engkau sekarang dari tidurmu dan sembahyanglah engkau mengagungkan Tuhan”. Kemudian kepada Abu Darda’ dijelaskan oleh Salman dengan katanya : “Kuperingatkan kepadamu, bahwa beribadat kepada Tuhanmu merupakan suatu kewajiban, merawat dirimupun merupakan suatu kewajiban, melayani keluarga mupun merupakan suatu kewajiban pula untukmu. Penuhilah segala kewajiban itu menurut haknya masing-masing”. Tatkala keesokan harinya, kelakuan Abu Darda’ dilaporkan kepada Rasulullah saw, Nabi bersabda : “Benar sungguh apa yang dikatakan Salman”.
Begitulah kehidupan shufi yang terjadi pada diri Rasulullah saw, dan para shahabatnya dan diikuti pula oleh para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai turun temurun pada generasi selanjutnya hingga sekarang ini. Sedang diantara shahabat Nabi saw yang mempraktekkan ibadah dalam bentuk Thariqat ini adalah Hudzaifah Al Yamani.
Perkembangannya shufi ini kemudian dilanjutkan oleh para generasi dari kalangan Thabi’in, diantaranya adalah Imam Hasan Al Basyri, seorang ulama besar Thabi’in murid Hudzaifah Al Yamani. Beliau inilah yang mendirikan pengajian Tashawwuf di Bashrah. Diantara murid-muridnya adalah Malik bin Dinar, Tsabit Al Bannay, Ayyub As Sakhtiyany dan Muhammad bin Wasik.
Setelah berdirinya madrasah Tashawwuf itu, disususl pula dengan berdirinya madrasah di tempat lain, seperti di Irak yang dipimpin oleh sa’id bin Musayyab dan di Khurasan yang dipimpin oleh Ibrahim bin Adham. Dengan berdirinya madrasah-madrasah ini, menambah jelaslah kedudukan dan kepentingan tashawwuf dalam masyarakat islam yang sangat memerlukannnya. Sejak itulah pelajaran ilmu Tashawwuf telah mendapatkan kedududukan yang tetap dan tidak akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa. Dan pada Abad-abad berikunya ilmu Tashawwuf semakin berkembang sejalan dengan perkenbangan agama islam di beberapa daerah. Bahkan menurut sejarah, pengembangan agama islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas ini, Asia kecil, Asia Timur, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi lautan Hindia, semuanya dibawa oleh propaganda-propaganda islam dari kaum Tashawwuf. Sifat dan cara hidup mereka yang sangat sederhana, kata-kata mereka yang mudah difahami, kelakuan yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya teori adanya.
Merekalah sebenarnya propaganda islam yang sebenar-benarnya. Pengikut-pengikut mereka merupakan sukarelawan yang ikhlas yang beribu-ribu jumlahnya, bahkan berpuluh-puluh ribu yang telah menyerahkan segala apa yang ada padanya, hartanya, jiwanya sekalipun untuk membawa agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lewat orang-orang sufi itu. Karena gerakan mereka mendekati gerakan nabi-nabi atau wali-wali maka orang-orang yang di hadapinya, baik Khalifah-khalifah, Raja-raja, pembesar-pembesar raja dan orang-orang awam takut dan hormat kepada shufi itu.
Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan Ulama’ shufi, maka dengan sendirinya melalui ajaran yang dibawanya itu dipengaruhi pula oleh Tashawwuf. Dengan demikan, para propagan tersebut juga secara langsung mengembangkan pula ajaran thariqat di berbagai daerah yang menjadi sasaran Da’wahnya. Pada akhirnya ajaran Tashawwuf tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat sejalan dengan perkembangan Islam dan Thariqat.
Pendekatan Diri Kepada Allah
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikan panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai pada puncak tujuan Tashawwuf. Jalan itu disebut Thariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kataTarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, di bagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat-tempat calon seorang sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah disebut di atas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Maka, seirang calon sufi banyak melaksanakan Ibadat. Tujuan semua ibadat dalam islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelaslah bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam Tashawwuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya. Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah tobat nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-qur’an dan zikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadah. Pakaiannya sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir.
Jika kesenangan dunia dan kelezatan materi tidak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-qur’qn dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara’. Di stasion ini ia dijauhkan tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literature tashawwuf di sebut bahwa al-muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat.
Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat. Dari stasion wara’, ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita. Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakal. Ia menyerahkan diri senulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tentram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati. Dari stasiion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk syurga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan Tashawwuf, ia sebenarnya belunlah menjadi sufi, tapi barulah menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tashawwuf.
Perkembangan Tasawuf dan Thariqat
Semenjak drintis dengan berdiri madrasah shufi di bashra samapi pada abad-abad berikutnya, tashawwuf terus menerus dikebangan oleh para tokohnya. Dan diantara para tokoh tersebut kini membentuk suatu aloran-aliran tersendiri, seperti Qadiriah wan Naqsabandiyah, AsySyadziliyah,Ar Rifai’iyah, Maulawiyah, Badawiyah dan lain sebagainya. Kini seluruhnya sudah mencapai jumlah sebanyak 41 aliran yang di pakai sebagai Thariqat Mu’tabarah. Dari 41 aliran thariqat diatas, yang paling teterkenal dan paling banyak pengikutnya dalam masyarakat adalah :
Thariqat Qadiriyah yang didirkan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani, lahir pada tahun 470 H. Wafat pada tahun 561 H. (1164 M.). Pengikutnya yang terbanyak adalah di India, Afganistan, Baghdad dan Indonesia.
Thariqat Rifa’iyah yang diciptakan dan dibangsakan kepada Syekh Ahmad bin Abdul Hasan Ar Rifa’I, wafat pada tahun 570 H, (1175 M.). Pengikutnya yang terbanyak di daerah Maroko dan Al Jazair.
Thariqat Sah rawadiyah yang dibangsakan kepada Syekh Abil Hasan Ali bin Al Sahrawadiyah yang wafat pada tahun 630 H. (1240 M.). Pengikutnya yang terbanyak dari Afrika.
Thariqat Syadziliyah yang dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syejh Abil Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy Syadzily, meninggal pada tahun 655 H. (1256 M.). Pengikutnya yang terbanyak di daerah Afrika..
Thariqat Ahmadiyah yang diciptakan oleh Syekh Ahmad Badawy, meniggal pada tahun 675 H (1276 M.). pengikutnyayang terbanyak di daerah Maroko. Thariqat Maulawiyah yang dibangsakan kepada pendirinya yaitu Syekh Maulana Jalaluddin Ar Rumi, meniggal pada tahun 672 H (1273 M.). pengikutnya yang terbanyak di daerah Turkistan dan Turki.
Thariqat Naqsabandiyah yang dibasngsakan kepada pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bin Muhammad Bahuddin Bukhari wafat pada tahun 791 H (1273 M.). pengikutnya yang terbanyakdi Malaysia.Thariqat Hadiyah yag dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syekh Abdullah Ba’alawy Al Hadad Al Hamdany, meniggal pada tahun 1095 H (1695 M.). pengikunya yang terbanyak di Jazirah Arab, Malaysia dan sekitarnya.Dari Beberapa thariqat tersebut di atas yang paling banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah Sumatra, Jawa dan Madura adalah Thariqat Qairiyah dan Naqsabandiyah.
Thariqat Qadiriyah adalah thariqat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qdi aL Jailany.. Beliau lahir di sebuah kota kecil, Jailan, Thabaristan pada tahun 471 H (1077 M.). dan wafat pada bulan Rabi’uts Tsani 651 H (1164 M.). di kota Baghdad. Thariqat ini dalam perjalanan berjalan seiring dengan thariqat yang diciptakan oleh Syekh Muhammad Bukhari, yaitu sejak bulan Januari 1978 berpusat di Tebuireng Jawa Timur Indonesia.
Selain itu, di Pulau Jawa khususnya terdapat juga beberapa thariqat yang tidak seberapa besar pengaruhnya dan pengikutnya. Diantaranya adalah Thariqat Syathariyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Syathar dari India, wafat padatahun 1485 M. Pertama kali didirikan di Banten oleh Syekh Abdul Muhyi dari Karang. Thariqat ini juga berkembang di Jawa Timur berpusatdiNganjuk (Madium) dibawah pimpinan Kyao Husnun, dan di Tijaniyah, Thariqat Shiddiqiyyah yang berpusat di Ploso JombangJawa Timur yang didirikan oleh K.H. Mukhtar padatahun 1958, Thariqat Wahidiyah yang berpusat di Kedunglo Kediri Jawa Timur yang didirikan oleh K.H. Abdul Majid Ma’ruf.
Thariqat Qadiriyah wan Naqsabandiyah adalah sebagai thariqat yang mu’tabarah, sedangkan thariqat lainnya dioanggap tidak mu’tabarah, yang thariqat Shiddiqiyah, Qahidiyah, Syadziliyyah dan Syathariyyah. Demikian pandangan para Kyai NU. Khususnya yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam organisai Nahdlotul Ulama’ sendiri sejak tahun 1957 tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1957 oleh para Kyai didirikan suatu daban federasi bernama Puncak Pimpinan jam’iyah Thariqat Mu’tabarah sebagai tindak lanjut dari Mu’tamar NU XIV sejak tanggal 15 s/d 21 Juli 1939 di Magelang. Dalam Mu’tamar Nu XXVI tanggal 5-11 Juni 1979 M. bertepatan dengan tanggal 10-16 Rajab 1399 H. di semarang Jawa Tengah, nama badan diganti menjadi Jam’iyah Thariqat Mu;tabarah Nahdliyin. Penambahan kata “Nahdliyin” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan federasi ini harus tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya, pimpinan tertinggi badan feerasi ini adlaha para Kyai ternama dari pesantren – pesantren besar, antara lain Kyia Baidlowy, K.H. Ma’shum (ayah K.H. Ali Ma’shum, Ro’is Am PBNU 1980) dan K.H Avdul Hafidh (ketiganya adalah pemimpinan Pesantren Lasem Rembang Jawa Tengah), K.H. Mushli dari pesantren Futuhiyah Mranggen Demak Jawa Tengah, K.H. Adlan Aly dari Pesantren walisongo Cukir Jombang Jawa Timur (beliau adalah keturunan seorang ulama’ besar K.H. Abdul Jabbar, Pendiri pondok Pesantren Maskumambang Dukun Gresik) dan K.H. Muhammad Arwani Amin dari Pesantren Tahfidhul Qur’an yandbu’ul Ulum Kudus jawa Tengah. Mereka ini adlah pemimpinan Thariqat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah dipegang oleh K.H. DR. Idham Kholid, Pengasuh Pesantren Cipete Jakarta.. Beliau adlah mantan ketua Umum PBNU. Ketua DPR/MPR, Ketua DPA dan pernah beberapa kali menduduki jabatan penting di pemerintah dari menteri sampai perdana mentari dalam kabinet Ali Roem Idham di masa orde lama.
Thariqat Qadiriyah ini disebarkan dan dikembangkan pula di pulau Sumatra oleh Syekh Abdullah Arif. Beliau adalah pendatang di negeri kita bersama para mubaligh lainnya diantaranya adalah shabatnya yang bernama Syekh Ismail Zaffi. Barangkali kedua ulama’shufi ini pernah berkenal yaitu Syekh Abdul Qadir Al Jailany (lahir 471 H), wafat tahun 561 H (1164 M). Mengingat beliau hidup sezaman dengan Waliyuhllah ini. Hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 1177 M, kedua beliau ini sudah giat menyebarkan dan mengembangkan Thariqat Qadiriyah ini. Penyebaran Thariqar Qadiriyah ini selanjutnya diteruskan oleh murid beliau, yaiutu Syekh Burhanuddin yang juga merupakan penyebar agama islam di darah Aceh. Demikian pula di tempat lain di pulau Smutra, banyak bermunculan penyebar Thariqat, diantaranya adlah Syekh Abdush Shamad Al Falimbany, Syekh Syamsuddin As Sumatrany, Syekh Daud bin Abdullah Al Fathany, Syekh Abdur Rauf bin Ali Al Fansury dang lain sebagainya.
Di kawasan lain kepulauan Nusantara ini, muncul pula penyebar-penyebar thariqat. Diantaranya adalah Sykh Yusuf tajul Khalwati, Syekh Muhammad Nafis Al Banjary, Syekh Ahmad Khahib As Sambasy, Syekh Abdus Shamad Pulai condong Al Kalantany dan sebagainya. Penyebaran thariqat di belahan dunia lainnya tidak pernah berhenti sampai pada abad XIX dan XX ini. Ini bisa dilihat dari para penyebar dan pembaharu di berbagai negara Islam yang telah berusaha untuk mengadakan pembaharuan thariqat, seperti yang dilakukan oleh DR. mohammad Iqbal di India, Abdul Halim mahmd Mesir, Syekh Ahmad Khathib Hasyim Asy’ary dan Prof. DR. Abdul Malik karim Amrullah (HAM
KA) dari Indonesia
RAHMAD KURNIAWAN
Belum ada tanggapan untuk "Ilmu Tasawuf"
Post a Comment